Pembuatan Background Model Pada Stratigrafi Kompleks

Posted on 14/05/2013

0


Ketika membuat model awal untuk inversi seismik, selain komponen frekuensi rendah, keakuratan model perlapisan layer juga merupakan hal yang penting. Biasanya ketika membuat model awal, kita hanya menggunakan horizon top dan bottom sebagai constrain, sedangkan untuk perlapisannya, di dalam software disediakan opsi proportional, paralel to lower, dan paralel to upper untuk membuat model perlapisannya (Gambar 1).

Gambar 1. Standar model perlapisan dengan menggunakan dua horizon pada pembuatan model awal inversi

Akan tetapi apabila struktur/stratigrafi nya kompleks (Gambar 2) seperti dalam kasus shelf-to-basin clinoforms, perubahan geometri lobe delta, kompleks channel-fan pada deep-water, dan struktur akibat salt tectonics, maka semua opsi yang ada di software tidaklah mencukupi dan akan berimbas pada hasil inversi yang kurang akurat.

Gambar 2. Contoh perlapisan seismik yang cocok apabila menggunakan dua horizon saja (a) dan perlapisan seismik yang cocok apabila menggunakan multi-horizon

Solusi untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan me-pick horizon yang memberikan detail struktur yang diperlukan untuk inversi seismik. Untuk mencapai tujuan ini, manual picking akan memakan waktu lama. Oleh karena itu, dibuatlah algoritma tracking yang dapat mengekstrak semua detail perlapisan dari data seismik. Algoritma tracking ini didasarkan pada mengikuti dip dan azimuth data seismik. Pemilihan penggunaan dip dan azimuth untuk tracking dibandingkan amplitudo adalah karena dip dan azimuth lebih kontinyu/menerus dan mengandung lebih sedikit noise ketimbang amplitudo.

Di sini kami sajikan contoh dalam hal perbandingan pembuatan model awal inversi antara menggunakan dua horizon (konvensional) sebagai constrain dan dengan menggunakan multi-horizon. Contoh berikut ini mengambil studi pada lapangan North Sea.

Studi pada lapangan di North Sea dilakukan pada setting deltaic klastik yang memiliki struktur stratigrafi komplek seperti coastal wedge, clinoform shallow water ke deep water, dan healing phase wedge.
Dalam studi ini menunjukan dua workflow pembuatan background model, yaitu workflow konvensional dengan menggunakan kontrol horizon sparse (jarang) yang dilakukan secara manual dan workflow HorizonCube dengan menggunakan horizon diperoleh secara otomatis dengan menggunakan algoritma (Gambar 3).

Gambar 3. Perbedaan pembuatan background model dengan menggunakan workflow konvensional (kiri) dan workflow HorizonCube (kanan)

Model di kiri gambar pada Gambar 3 hanya menggunakan horizon top dan bottom untuk me-guide interpolasi sumur. Sedangkan model di kanan gambar menggunakan 19 horizon tambahan. Model frekuensi rendah pada kiri gambar tidak sebagus pada kanan gambar yang mampu mempertahankan interpolasi sesuai dengan data seismik. Untuk melihat seberapa bagus hasil inversi dari kedua metode di atas, maka dilakukan blind test pada tahapan pembuatan model kemudian hasil inversinya dibandingkan dengan log AI sumur yang ditampilkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Hasil blind test satu sumur

Gambar 4 menunjukan perbandingan antara log AI sumbu x dengan log inverted-AI sumbu y. Gambar 4b yang menggunakan lebih banyak horizon memiliki nilai korelasi yang lebih baik dibandingkan Gambar 4a yang hanya menggunakan horizon top dan bottom.

Dari hasil studi kasus lapangan North Sea terbukti bahwa penggunaan multi-horizon dalam inversi menaikkan tingkat keakuratan nilai prediksi P-impedance hasil inversi seismik.

Referensi:

  • Brouwer, F., et.all. 2012. Extracting full-resolution models from seismic data to minimize systematic errors in inversion: Method and examples. The Leading Edge – May